Dia Bukan Panorama (Renungan Idul Adha): Gunawan Wibisono

(1)

Jangan hanya menatapnya dari kejauhan,

Kamu tak menemukan sesuatu inginmu yang kau cari di sana

Mendekatlah dengan sebongkah kepastian niat

Ketuk pintunya dengan senyum

(2)

Jangan kau permasalahkan terompahmu,

Atau pakaianmu yang rombeng

Tanpa buket bungapun, kamu tetap tamunya yang mulia

Dia tuan rumah yang baik

(3)

Sesungguhnya, tak perlu kamu kian kemari mencari keberada’annya

Bahkan dengan berkendara onta ataupun berbagai pelana

Dia dekat, bahkan sangat dekat

Satu hal yang pasti, dia bukanlah panorama!

Dan Malam Itu : Bayu Yanuar Wijaya

Lalu malam itu milik siapa?
Aku bertanya sembari bersandar dibalik aren yang berjajar
Aku melamun sembari mengeja kata demi kata yang tergambar di langit
Dan dari kejauhan aku melihat kehadiranmu yang berselimut ombak
Dan dari kejauhan aku mendengar nafasmu yang terburu beriringan dengan gempuran ombak
Yang menghantam karang-karang
Menyeret pasir-pasir hitam
Dan menggulingkan angan-angan yang terbang bersama angin

Lalu malam itu aku apa?
Engkau yang muncul bersama gemerlap bintang
Engkau yang muncul bersama terang rembulan di balik gelap malam
Dan dari dekat engkau menjelma bagai butiran pasir yang halus menyapaku
Dan dari dekat engkau menampakkan kelembutan seperti hembusan angin dibalik rambutku
Yang kemudian merasukku
Membawa aku terbang
Lalu menghabiskan malam denganmu

Lalu malam itu engkau siapa?
Aku yang memandangmu tanpa henti, sejenak heran dan bertanya-tanya akan hadirmu
Aku yang membayangkanmu setiap menit, sejenak mengkorelasikan keindahan bumi dengan kemegahan langit
Dan dari situ aku tak bisa menyapamu namun bisa mersakanmu
Lewat getaran yang kau pancarkan
Lewat mimpi yang kau sematkan dibalik tidurku
Lewat kegundahanku yang entah mengapa
Karena anginpun tak sanggup mengartikannya

Lalu malam itu mimpi apa yang kau hadirkan?
Aku berlari di taman bunga yang luas dengan bunga cinta yang sengaja kau hias
Aku menari di tepian pantai dengan ombak yang buas yang menghantamku
Dan aku terjatuh bersamamu dibalik rayuan malaikat cinta
Dan mengapa kita enggan untuk bangkit bersama-sama
Padahal kita tau kita sedang jatuh, tapi entah kemana
Tak jelas arahnya, tak tau tujuannya
Apakah itu hanya mimpi dan sekedar mimpi

Lalu malam itu tafsir apa yang kita artikan?
Engkau yang berkata peramal tak selamanya benar, dan memang tak benar
Engkau yang berkata apa yang kita tafsirkan hanya sebatas mimpi
Dan aku berlari sangat jauh, jarak yang membentang sungguh jauh
Dan jarak yang menjadi rintangan berusaha kulipat agar tak jauh
Sungguh mengertilah bahwa aku terlalu lelah
Jarak dirintangan yang kita lewati sungguh jauh
Dan setiap malam aku bermimpi bahwa kakiku dari roda, dan tubuhku dari mesin

Lalu malam itu kita siapa?
Aku yang berdiri menatapmu hanya sebatas dekat tanpa batas
Aku yang berjalan menggandengmu seperti menggabungkan bumi dan langit
Dan apakah engkau percaya bahwasannya langit juga pasti gelap
Dan apakah engkau percaya bahwasannya aku bisa menjelma menjadi kegelapan itu
Semakin kelam kita berada dalam peraduan
Semakin tak tau engkau memposisikan bintang-bintang agar terlihat indah dan beraturan
Berjalanlah, mengalirlah, menjelmalah bersama malam
Bersama guratan-guratan yang kita buat
Hingga kita tau tau lagi bahwa disana ada pucuk kelapa yang melambai bersama cintanya

Tak Selamanya. waktu : Rafika Surya Bono

Di malam yang riuh akan butiran-butiran hujan,
ku coba untuk menuliskan apa yang ku pikirkan
Tak ingin jadi beban,
hingga kata-kata jadi sasaran

Ibarat hujan,
yang pernah aku gilai dengan nista
Saat masih ada kau, aku, dan kita
Aku masih menyukai hujan, tentu
Meski kini hanya ada kau dan aku

Namun ada saat di mana aku lelah menggilai hujan
Ku beri misal,
saat hujan mencumbui jemurun
dengan nistanya
Membuatku tak percaya pernah menggilai hujan segila itu
Tak selamanya aku akan mencintai hujan, yakinku

Sama. Seperti. Tak selamanya Rindu itu Kamu, Waktu.

Begal : Rahab Garendra

***

begal
bengal
bikin sial
komplotan nakal
begal di kantor kantor pelayanan
di ruang gedung pemerintahan
kutip pungli sana sini tanpa aturan
halal haram tak ada perbedaan

begal, begal suara
alat senjata mendulang kuasa
seketip dua ketip upah barternya
suara lesap terbegal politisi pemangsa

begal tak pernah puas
begal tak pernah terima kalah
begal halalkan segala macam cara
begal bersiasat busuk
begal satu dalil dalam jiwa
menang dan hanya menang saja

kering kurus tubuh negeri
terhisap vampire begal politisi
tak peduli tangis negeri
nasib jelata bermiskin rejeki

dan kini setelah dilantik sumpah janji
mereka tak tahu apa yang mesti dikerjakan nanti
kecuali hanya menjilat atas nama abdi
pada partai sang pemberi kursi

begal oh begal politisi
berkomplot dalam nama koalisi
jegal menjegal jadi niat busuk hati
atas nama satu ambisi
tiada kawan sahabat sejati
hanya kepentinganlah yang abadi

begal oh begal

***
*begal = perampok

Jakarta - 4 Oktober 2014
@rahabganendra

Sapaan Jiwa; Agustinus sani Nugroho

By: ASN, Jakarta, 5 Oktober 2014

Di antara hijau padi
Di sudut sebuah Masjid
Hadir sebuah damai hati
Menyapa jiwa, sejuk
Melintas perlahan
Tersenyum..

*Foto “Masjid ditengah sawah” ini kuambil di Tak jauh dari daerah Matoer, Sumatra barat, tanggal 21 Juni 2014, pukul 13.09 WIB.

Labuh; Sang Mahadewa Cinta

Tak sanggup kuberlabuh di belantara jelita sang kartika

karena cahaya emasnya niscaya sirna tatkala fajar tiba

tak mungkin jua kubersandar pada benderang baskara

yang segera padam pada saat datangnya senja

mustahil pula kumerapat di birunya petala cakrawala

ia mesti pupus dilahap mendung dan malam gulita

namun kuharus terus berburu tambatan biduk asmara


Rabbi…

anugrahi hamba sebuah pelabuhan hati nan abadi

ekspedisi cinta ini harus berakhir sampai disini

seiring merapuhnya tubuh yang tak lagi berenergi

sendi-sendi bahtera ini pun tak bisa diharapkan lagi

‘tuk menghadapi kian dahsyatnya ombak dan badai

di samudera kasih yang kerap digoncang tsunami


Haruskah kubersandar pada senandung sendu sang bayu

pada malam bisu yang melulu mampu memicu rindu

pada lolong anjing-anjing kasmaran penyayat kalbu

pada kamar senyap yang sombong, tuli, dan gagu

pada ranjang tembem, ganjen, patuh, namun dungu

pada bantal-bantal erotis, genit, gemulai, pemancing nafsu

kutak tahu… oh, Sang Penguasa Jodoh, sungguh kutak tahu


Jika memang tiada lagi tempat layak untuk berlabuh

pasti inilah saat terbaik membuang sauh

di mahabandar-Mu yang amat bersuluh dan teduh

oh, Sang Maha Dermaga tempatku bersembah simpuh

biarkan ruh dan seluruh tubuh teguh bertawajuh

dengan tasamuh dan bersungguh-sungguh

izinkan hamba bertelimpuh mengunduh

asih, asah, asuh-Mu yang amat kubutuh

‘tuk memperkukuh jiwa rapuh penuh telutuh

sebelum Izrail memukul tabuh


Bumi Allah, 27 September 2014

Senyum Terakhir Ayah di Bulan Ramadhan

Sambil duduk di lantai papan yang sudah berwarna hitam kecoklatan, mataku terus saja sibuk menyaksikan aktivitas ibu yang sedang asyik memasak. Nampak juga kakakku sedang menikmati pekerjaannya memarut kelapa dengan parudan yang sudah agak tumpul, di sampingnya beberapa wadah yang berisi potongan-potongan pisang minurun, butiran kolang kaling dan gula aren yang dibuat secara tradisional membuat aromanya sudah merayap di indera penciumanku, “O… rupanya dia akan membuat kolak” gumamku dalam hati.
Sesekali pahaku terasa sakit seperti ada yang menggigit. Aku mengamati lantai papan yang sebagian berlubang-lubang akibat lapuk, mataku terus saja melotot mencari apa sebenarnya yang menggigitku, ukh… lagi-lagi cupit, hewan kecil yang menjadikan papan lapuk sebagai sarangnya. Aku dan kakakku menamainya cupit, karena hewan kecil ini sering mencubit paha maupun pantat orang yang duduk dan menutupi sarangnya. Tidak ada jalan lain, aku harus mengambil minyak tanah untuk menetesi lubang-lubang papan yang keropos tersebut, beberapa detik kemudian keluarlah binatang kecil berwarna coklat dengan kedua capit dimulutnya menggeliat-geliat dan lalu mati.
Sementara ibu sedang sibuk menyiapkan hidangan berbuka puasa yang sebentar lagi akan tiba, aku ikut membantu dengan menata piring, gelas, dan keperluan makan lainnya di lantai yang sudah terbebas dari sengatan kutu kayu, setidaknya untuk sementara.
Disampingku duduk bersila ayahku yang hampir tidak pernah tersenyum seumur hidupnya. Beliau memandangiku, namun kali ini bibir beliau sedikit terbuka dan tertarik kesamping, entah apa yang lucu dari tingkah lakuku hingga membuat ayah tersenyum, biasanya beliau hanya memberikan tatapan mata yang tajam dan kata-kata dengan nada tinggi.
Beberapa menit lagi akan segera berbuka puasa, suara zikir dan doa berkumandang lewat corong menara mesjid di seberang rumahku yang lumayan memekakkan telinga, saking nyaringnya sehingga kalau berbicara harus sedikit berteriak agar kedengaran.
Semua sudah siap untuk menikmati hidangan sederhana yang super lezat buatan ibu. Ayah masih saja tersenyum melihatku, aku masih terheran-heran, ibu menunjuk kearah piringku, kakak pun tertawa terpingkal-pingkal, bagaimana tidak, dipiringku nampak sejumput nasi putih yang dikelilingi aneka macam ikan, sepotong ayam sambal habang, pepes udang air pancur, sayur, beberapa biji buah kurma, dan sepotong kue lapis yang dibeli dari warung tetangga menjadi satu hingga membentuk seperti gunung merapi yang melelehkan laharnya, di kirinya sirup limus dengan rasa jeruk manis, di sebelah kanan piring terdapat segelas es kelapa muda segar. Tidak lupa kolak manis buatan kakakku tercinta J
“Waduh…meriah banget, kucingpun bisa berlindung di balik piring hingga tidak terlihat” celetuk kakakku yang dari tadi tidak berhenti mentertawakanku. Namun aku tidak perduli dan tetap bersila dihadapan makanan yang sudah siap kusantap.
“Kalau buka puasa tidak boleh berlebihan”, kata ayah tiba-tiba menasehatiku. Kali ini suara beliau nampak lirih dan lembut, beliau mengembangkan bibirnya sedikit walaupun masih terlihat gengsi, namun tatapan mata ayah kali ini begitu ramah.
Kesibukkan mentertawakanku membuat kami tidak sadar bahwa sirene di mesjid sudah dibunyikan dengan nyaringnya.
“Waktu berbuka puasa telah tiba, kaum muslimin dan muslimat selamat berbuka puasa”, begitulah kira-kira kalimat yang digunakan oleh salah seorang kaum mesjid untuk memberitahu masyarakat desa Tanah Bangkang.
Tidak pikir panjang, aku berdoa secepat kilat seperti kereta api yang sedang melaju, kusantap satu-persatu makanan yang ada dipiringku, sesekali aku mengambil salah satu minuman, dan kuselingi dengan minuman yang lain.
“Makannya jangan terlalu cepat, pelan-pelan saja” ibu mengingatkanku, namun aku tidak mengindahkannya, aku terus saja makan dengan lahap layaknya orang yang sedang menyeberang jalan tidak menengok ke arah kiri dan kanan, tiba-tiba kepalaku pusing, perutku mual, keringat dingin mulai keluar dari sela pori-pori kulitku.
“Bu, aku mau muntah”
Belum lagi ibu sempat berbicara, aku langsung lari ke kamar mandi, air liurku mulai bercucuran, dan siap-siap mengeluarkan semua makanan yang baru saja kutelan.
———————
Sepulang dari salat tarawih, ayah mengeluh sakit di dadanya, kulihat ayah nampak mengusap-usap perut bagian atas sembari meringis, dia tidak bisa tidur. Hingga saatnya sahur, ayah tidak bisa menelan makanan bahkan seteguk air minumpun ditolak oleh tenggorokan walau sudah berkali-kali dicoba.
“Sepertinya Allah sudah menutup rezeki untukku” kalimat yang dikeluarkan ayah membuat aku tersentak, kulihat wajahnya mulai pucat, matanya merah sayu, tenaganya melemah bahkan tidak bisa bangkit walau sekedar hanya untuk duduk saja. “Ah….semuanya begitu cepat terjadi” gumamku dalam hati.
Pagi hari, aku dan kakakku memaksa membawa ayah ke rumah sakit, beliau menolak, sepertinya rumah sakit sudah menjadi sebuah momok yang menakutkan bagi pasien ASKES. Namun, kami tetap merayu hingga akhirnya beliau menyetujuinya.
“Ibu tidak usah ikut” pesan ayah sambil memandangi ibu, ibu hanya mengangguk mengiyakan sambil menahan tangisnya.
“Jangan menangis, aku tidak mau melihat ibu menangis” lanjut ayah dengan nada agak tinggi.
———————
Sudah dua hari ayah di rumah sakit, oleh dokter, ayah divonis kanker hati. “Astagfirullahalazim….” jantung serasa berhenti berdetak, segala urat badan terasa lemas, kaki seakan sudah tidak menginjak tanah lagi. Aku hanya bisa duduk merenung dan bertanya-tanya “apakah ayah punya kesempatan untuk menjalani hidup lebih lama lagi, oh…Tuhan apapun yang terjadi berikan ketabahan kepada kami, lebih-lebih lagi pada ibuku”
“Ah….bagaimana dengan ibu ?” pertanyaan itu selalu menghantui perasaanku, karena aku tidak tega melihat raut wajahnya yang tenang berganti dengan kesedihan. Aku tidak sanggup melihat keteduhan mata ibu berubah ketika harus menahan pilu. Mataku mulai berkaca-kaca, aku tidak mau kehilangan senyum ibu, keteduhan tatapan matanya, kelembutan sikapnya yang selalu menjadi pelarianku ketika ayah marah-marah, dan sifat beliau yang selalu mengalah kepada suami dan anak-anaknya.
Dari kejauhan terdengar sayup azan subuh yang mulai berkumandang, di atas ranjang beralaskan seprai putih, ayah tidak seperti biasanya, bila sebelumnya dia selalu merasa kesakitan di perut bagian atas, namun hari ini dia terlihat santai dan seperti tidak ada keluhan, nampak bibir ayah bergerak-gerak, aku menyodorkan telinga dan mendekatkan ke mulut ayah, dengan seksama kudengarkan apa yang dikatakan beliau, ternyata beliau menjawab azan, “Subhanallah…..”, setelah itu ayah terdiam, kuangkat kepala beliau dan kuletakkan diatas pangkuanku, nampak di bola matanya tidak ada lagi tatapan yang berarti, bibirnya sedikit terbuka, perlahan-lahan kulitnya pucat, suhu badanya menurun, kemudian sangat dingin dan mulai kaku “Ayah…..” isakku dengan sendu.
“Bayangmu ayah, walau jauh dari sanubari dan terkikis oleh waktu, namun mampu kurengkuh lewat lamunan yang hakiki. Bayangmu ayah, di sini, selalu kutuliskan sebait rindu yang tiada henti”